KENAPA HARUS KAMU?
Malam ini, seperti biasa, aku terduduk di teras kamar sembari mengamati kerlip lampu yang kadang sinarnya lebih indah dibandingkan bintang di langit kelam. Aku selalu suka melakukan ini, menikmati suasana malam dari kamar (baca: istana) ku sendiri. Setelah seharian penuh beraktivitas, aku akan memanjakan diri dengan caraku ini. Sederhana
memang, tapi luar biasa menyenangkan. Tidak hanya menikmati semilir angin yang menyapa lembut wajahku, kadang aku juga senang melamun membayangkan sesuatu, atau sesekali membawa diri menengok masa lalu.
Seperti saat ini, langit seakan menjadi layar lebar yang memutarkan film dokumenter hitam-putih dimana tokoh-tokoh yang ada di dalamnya begitu familiar untukku.
Lihat, ada seorang gadis yang sedang tertawa dengan lepasnya di sana. Sepertinya gadis itu sedang bahagia sekali. Tampangnya yang tampak kusut tidak mengurangi rasa bahagia yang tergambar jelas di wajahnya. Di sampingnya, ada seorang lelaki seumurannya yang juga sedang tertawa. Mereka terlihat akrab. Sang gadis menggelitik pinggang lelaki itu, begitu pula lelaki itu, hingga akhirnya mereka melepas tawa bersama.
Ah, aku kenal gadis itu… Gadis itu aku…
Aku juga mengenal baik siapa lelaki itu, lelaki itu kamu…
Aku ingat, ketika itu kita sedang dalam perjalanan pulang menuju Semarang setelah seharian penuh aku melakukan observasi di salah satu pabrik tapioka di Salatiga. Hari itu, kamu menemaniku dengan sabar.
Kenapa harus kamu?
Hei, suasana dalam film itu berganti lagi! Kali ini aku melihat gadis yang sama sedang duduk di atas kasur empuknya. Sepertinya aku akan menjadi tokoh utama dalam film hitam-putih kali ini. Gadis itu, ya, aku terlihat sedang tersenyum sendiri sembari membaca sesuatu di layar ponsel. Kamera semakin mendekati sosok gadis itu sehingga aku dapat melihat dengan jelas apa yang ada di layar ponsel itu. Ah, ternyata pesan singkat dari seorang lelaki.
Lelaki itu kamu…
Kenapa harus kamu?
Tentu saja gadis itu tersenyum sendiri ketika membaca pesanmu. Bahkan hingga kini, gadis itu masih melakukan hal yang sama seperti yang aku lihat di dalam film itu.
Lalu, film berganti lagi! Kali ini aku melihat diriku sedang menahan senyum, di depannya ada seorang lelaki, yang bisa dipastikan lelaki itu kamu, sedang mengendarai motor menyusuri jalanan yang cukup teduh. Aku bertanya-tanya kemana kamu akan membawaku hingga akhirnya tampak sebuah rumah yang tidak asing untukku. Itu rumah dia, sahabatku.
Sekarang aku ingat! Ketika itu aku memintamu untuk menemaniku ke rumahnya dengan alasan aku memerlukan bantuanmu untuk membawa sesuatu yang tidak bisa aku bawa seorang diri. Kamu mengiyakan saja permintaanku tanpa tahu alasanku yang sebenarnya mengajakmu kesana. Kamu tahu? Ketika itu aku begitu ingin mengenalkanmu pada sahabat terbaikku. Aku ingin mengenalkan kepadanya seseorang yang belakangan selalu membuatku senang. Seseorang yang membuat aku lebih bersemangat untuk pergi ke sekolah.
Lalu aku lihat lagi, akhirnya sahabatku mengenalmu. Diriku tampak senang sekali di sana, dua orang yang berarti dalam hidupnya kini saling kenal.
Melihat bagian itu, hatiku terasa sedikit berdenyut. Aku memeganginya sebentar seolah meyakinkannya bahwa dia tidak akan kenapa-kenapa. Hatiku tidak akan kenapa-kenapa, meski sesekali ketika mengingat hari itu, sesal kembali menghampiri. Kenapa kamu yang kenalkan kepadanya?
Kenapa harus kamu?
Tidak ingin semakin membuat hatiku nyeri, aku cepat-cepat meminta agar film itu dapat berganti kembali. Seperti anak anjing yang patuh kepada pemiliknya, seketika gambar berganti lagi. Kini aku melihat diriku sedang menelepon seseorang. Semakin dekat aku tahu bahwa aku sedang meneleponmu. Saat itu, tanggal 24 Februari 2011 malam, aku menelepon untuk memberikan ucapan selamat ulang tahun untukmu.
Ah, ya, saat itu aku sedang berada dalam jarak ratusan kilometer darimu. Tidak ada hadiah khusus yang bisa aku berikan sebagai hadiah ulang tahunmu, tapi kamu harus tahu, ketika itu aku mengirimu banyak sekali doa.
Beberapa saat kemudian, gambar berganti lagi. Kali ini aku kembali melihatmu di sebuah tempat yang ramai. Kamu sedang duduk di antara orang-orang yang begitu semangat meneriaki tim kesayangan mereka, kamu pasti sedang menonton sebuah pertandingan bola. Ya, sepertinya itu memang tim sepak bola sekolah kita yang sedang bertanding dengan tim kesebelasan sekolah lain. Namun tidak ada sosok diriku di sana. Dimana aku? Mengapa tidak ada aku di dekatmu? Apakah ketika itu aku masih berada jauh darimu? Ah, tunggu. Aku melihat sesosok perempuan menghampirimu. Itu pasti aku.
Tunggu, itu bukan aku. Aku tidak memiliki rambut lurus seperti yang dimiliki perempuan itu. tapi mengapa dia tampak akrab sekali denganmu? Setahuku, ketika itu hanya aku yang dekat denganmu. Aku jadi penasaran, siapa perempuan itu?
Setelah beberapa saat berbicara denganmu, perempuan itu membalikkan badan dan ikut berteriak menyemangati pemain yang sedang bermain di lapangan.
Eh, perempuan itu…. sahabatku , kan?
Itu dia yang beberapa waktu lalu aku kenalkan padamu, kan?
Mengapa kalian tampak sudah akrab sekali?
Pertandingan tampak sudah selesai. Seperti supporter yang lain, kalian pun pulang. Dia duduk di jok belakang motormu dan memeluk pinggangmu erat. Dia? Sahabatku memeluk pinggangmu?
Mataku seolah tidak bisa lepas dari tayangan itu, lalu aku kembali memegangi dadaku yang mulai terasa nyeri.
Kenapa harus kamu?
Tidak peduli dengan nyeri di dada, aku kembali melanjutkan menonton film hitam-putih di layar lebar langit malam. Sebelum melanjutkan, aku bangkit sebentar dari dudukku dan mengambil boneka beruang coklat pemberian sahabat terbaikku tahun lalu. Aku butuh sesuatu untuk menemaniku menonton film ini, pikirku. Kurasa boneka ini cukup nyaman. Aku duduk kembali dan melanjutkan menonton film.
Lagi-lagi aku melihat kamu disana, kamu sedang berbicara dengan seseorang di sebuah teras rumah. Kamu terlihat serius sekali. Di sampingmu, aku melihat diriku sendiri! Senang sekali rasanya melihat sosokku menemanimu seperti itu. Volume sedikit aku besarkan agar aku dapat mendengar apa yang sedang kamu dan aku bicarakan. Ternyata kamu sedang berceriita tentang dia, tentang sahabatku, tentang pacarmu.
Aku teringat, ketika itu kamu tiba-tiba muncul di halaman rumahku dengan tampang kusut. Seolah mengerti kamu sedang dihinggapi masalah, aku menyuruhmu masuk dan bercerita. Namun kamu memilih untuk duduk di teras depan rumahku, lebih nyaman, begitu katamu. Setelah berbasa-basi sedikit dengan Bunda, aku memintamu bercerita. Akhirnya kamu berterus terang tentang orang tuamu yang memintamu untuk tidak berhubungan lagi dengannya. Kamu juga bercerita tentang perasaanmu yang sedang kacau karenanya. Ingatkah kamu? Ketika itu aku hanya diam mendengarkanmu bercerita. Selain karena sedang menahan nyeri di dada, aku melakukan itu karena topik pembicaraanmu malam itu adalah tentang dia, seseorang yang sudah lama menjadi sahabatku. Aku tidak mau salah memberi saran. Aku tidak mau merusak apa pun tentang kamu dan dia. Jadi, aku memutuskan untuk hanya mendengarkanmu bercerita.
Lalu aku melihat sosok diriku sedang tertawa di sampingmu. Aku melihat diriku dan dirimu sedang menghabiskan waktu di suatu pusat perbelanjaan, lalu ketika melewati sebuah konter permen kamu berhenti. “Aku ingin membelikan dia permen lollipop ini. Kamu tahu, kan, kalau dia senang sekali dengan lollipop?” ucapmu singkat seolah mengerti keherananku. Ketika kamu sedang asyik memilih permen mana yang akan kamu beli, aku melihat sosokku berbalik dan mengusap sedikit air mata di kedua ujung mata. Tak lama, aku berbalik dan membantu memilihkan permen dengan sebelah tanganku, karena sebelah tanganku lagi aku pakai untuk memegangi dada. Rasanya sesak sekali, tapi aku tahu, hatiku tidak akan kenapa-kenapa selama kamu ada di dekatku.
Tapi,
Kenapa harus kamu?
Lalu gambar berganti lagi. Kali ini gambar bergerak dengan cepat dan semakin lama semakin cepat berganti hingga aku tidak tahu gambar apa saja yang terputar di layar langit kelam. Gambar sosokku, sosokmu, sosoknya, sosok Ibumu, sosok Bundaku, sosok teman-teman lain, suasana sekolah, kantin, mall, entahlah aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Gambar-gambar itu berganti dengan sangat cepat hingga membuatku pening.
Seperti gambar-gambar itu, kadang terlalu banyak frase hidup yang terjadi dan berganti tanpa henti cukup membuat kita kewalahan dibuatnya. Seperti aku, yang kadang bingung dengan apa yang terjadi setahun belakangan ini. Aku memeluk boneka beruang coklatku erat, membenamkan wajahku di sana dan berharap sakit di kepala ini segera hilang.
Dia.
Kamu.
Aku.
Kamu.
Aku.
Dia.
Kamu.
Kamu.
Kamu…
Argh, kenapa harus kamu??
Tiba-tiba putaran gambar-gambar itu berhenti. Lalu muncul sepotong gambar. Ada aku, kamu, dan dia di sana. Aku melihat kita bertiga duduk bersebelahan di sebuah teras rumah. Aku dapat merasakan situasi tidak nyaman yang terjadi di dalam layar. Kita hanya terdiam, mungkin sibuk dengan pikiran masing-masing. Sosokku duduk di antara kamu dan dia, wajahku terlihat pucat pasi saat itu.
Tapi tidak terjadi apa-apa.
Kita hanya diam.
Aku dapat merasakan, dia sedang marah sekali. Mungkin karena dia akhirnya tahu semua perasaan yang selama ini aku coba pendam kepadamu? Pasti rasanya sakit sekali mendapati seseorang yang kita cintai, dicintai pula oleh sahabatnya sendiri. Dia tidak perlu menjelaskan padaku bagaiamana sakitnya. Karena aku tahu, sosokku itu telah merasakannya lebih lama dari pada yang dia rasakan.
Sosokku mencintaimu
Dia meneoleh ke arahku, dari sorot matanya aku tahu dia terluka. Sosokku menunduk dibuatnya, tidak tahan menatap sorot mata itu lebih lama lagi. Lalu aku melihat dia menatap ke arahmu, “Kamu tahu? Rasanya sakit sekali ketika kamu mengatakan bahwa kamu mencintai dia, sahabatku sendiri. Bahkan kamu bilang kamu sudah mencintainya semenjak kamu belum mengenalku? Lalu selama ini, apa artinya aku? Rasanya jauh lebih menyesakkan dari pada ketika kamu memilih untuk mengikuti apa kata Ibumu dan mengakhiri hubungan kita.”
Setelah itu dia bangkit. Sosokku menoleh. Mata kita bertemu dan rasanya nyeri sekali mendapati sorot mata penuh cinta namun juga penuh dengan luka itu.
Lalu dia pergi meninggalkan aku dan kamu di sini.
…
Langit malam kembali kelam, menghitam tanpa gambar.
Namun tanya di hatiku masih belum terbayar…
Kenapa harus kamu?
Kenapa?
****
specially, posted by @khaidianty
2 komentar:
Jadi terharu kak :')
hehehe makasihh
Posting Komentar