Tidak Ada Judul
I’m Yours… I’m Yours….
Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya. Dimas, Dimas dan Dimas. Nita selalu bercerita tentang Dimas, aku iri kepadanya karena Dimas begitu dirindukan olehnya.
Suara musik rege yang bersemangat mengiringi acara dinnerku
dengan Nita. Kami dinner bersama di rumah makan jepang yang sangat Nita sukai.
Ya. Ini adalah hari setahun kita berpacaran.
“ini buat kamu yang.” Kataku sembari menyodokan setangkai
bunga mawar merah.
“bunga? Buat gue?” Tanya Nita sengak.
Sedari setahun yang lalu sejak kami berpacaran, aku tak
pernah bisa menjadi lelaki romantis buat dia. Dia selalu menuntutku untuk
memberi perhatian lebih, memberi kejutan yang intinya membuatku semakin
romantis.
“iya itu buat kamu, terima dong.” Jawabku.
“makasi ya.” Jawabnya dengan senyum terpaksa.
“lu tau Dimas sahabat gue kan? Dia baik banget sumpah.
Kemarin tu ye pas ujan, dia ngasi gue jaketnya buat angetin badanku gue yang
basah.” Katanya tiba-tiba.
Aku hanya tersenyum mendengar ceritanya. Dimas, Dimas dan Dimas. Nita selalu bercerita tentang Dimas, aku iri kepadanya karena Dimas begitu dirindukan olehnya.
Setelah kami selesai makan, kami pun beranjak pergi dari
rumah makan tersebut. Di jalan Nita terus bercerita bagaimana baiknya,
romantisnya Dimas. Yah, aku hanya bisa tersenyum kecil karena hatiku sakit
mendengar gadisku merindukan lelaki lain.
Akupun mengantarnya pulang kerumah. Setelah itu aku pulang
kerumah untuk istirahat dan tidur. Saat sedang membelok di belokan tajam, aku
terserempet mobil yang berkecepatan tinggi dari arah yang berlawanan. Aku pun
segera dilarikan ke rumah sakit untuk diberi perawatan.
“tuuuuuut…………….tuuuuuuuuut……………tuuuuuuuut……..” Bunyi telfon
genggam yang aku gunakan untuk memberitahu Nita.
“halo? Ada apa?”
Jawabnya setelah mengangkat telepon dariku.
“aku lagi dirumah sakit nih, tadi keserempet mobil.”
Jawabku.
“kok bisa? Kamu pasti gak ati-ati kan? Yauda aku kesana ya.
Tuuuuuuuuuuuuuuuut.” Jawabnya sambil menutup telpon.
Sekitar tiga puluh menit aku menunggu dia datang
menghampiriku di rumah sakit.
“keadaanmu gimana? Ada yang terluka?” Tanyanya.
“aku baik-baik aja kok.” Jawabku sambil tersenyum.
“oh kirain sakit parah, ganggu tidur gue aja lu. Gue pulang
aja ya, ngantuk nih.” Jawabnya sambil pergi meninggalkanku.
Aku hanya bisa terdiam melihatnya pergi. Tak ingin menahan.
Aku mencoba sabar dengan sikapnya itu dan menyimpannya dalam-dalam di dalam
hati.
Keesokan harinya saat aku masuk kelas, teman-temanku
bertanya mengapa aku bisa terserempet mobil waktu itu. Aku membiarkan mereka
melumut menunggu jawabanku karena aku hanya duduk diam melihat Nita dan Dimas
sedang asik bercanda di sudut kelas. Aku hanya berpikir mengapa dia, pacarku,
tak memperhatikanku sama sekali.
Suatu hari Dimas didiagnosa dokter terkena gagal ginjal. Dia
harus mendapatkan donor ginjal yang tepat jika tidak dia akan meninggal dunia.
Saat itu, Nita adalah orang yang paling mengkhawatirkan Dimas. Dia menunggu
Dimas seharian hanya untuk menunggu Dimas terbangun.
“hai Nit, ngapain kamu disini? Bukannya kamu sama pacarmu?”
Tanya Dimas yang tiba-tiba terbangun.
“aku khawatir sama kamu Dim. Keadaanmu gimana?” Tanya Nita
lembut.
“aku baik-baik aja kok. Boleh ngomong sesuatu gk? Kamu sayang
gak si sama pacarmu?” Tanya Dimas.
“aku sayang si Dim. Emang kenapa?” Timpal Nita.
“bagus deh kalo gitu hehehe.” Jawab Dimas sambil tertawa.
Lima hari kemudian Nita mengajakku bertemu. Hari itu dia
sangat baik denganku. Ya. Dia baik karena ada sesuatu. Dia mau aku mendonorkan
satu ginjalku untuk Dimas agar Dimas selamat.
“sayaaang, aku boleh ngomong sesuatu gk?” Tanyanya.
“mau ngomong apa?” Tanyaku balik.
“kamu tau Dimas kan? Yang sering aku certain ke kamu itu lo.
Dia lagi sakit yang.” Jelasnya.
“sakit apa emang?” Tanyaku.
“dia sakit gagal ginjal yang, emmmmm…. kamu mau gk donorin
satu ginjal kamu buat dia? Pikirin perasaannya yang kalo kamu nolak.” Jelasnya
lagi.
“ginjalku? Perasaan Dimas? Emang dia siapa lu? Apa lu juga
mikir perasaan gue? Apa lu mikir perasaan gue waktu lu cerita mulu tentang
Dimas? Apa lu mikir perasaan gue dengan lo ngomong gini? Lu tu sayang gue apa
enggak sih?!” Jawabku sedikit membentak.
“tapi kan dia sahabatku, aku khawatir sama dia.” Jawabnya
sedih.
“apa lu mikir perasaan gue waktu lu ninggalin gue di rumah
sakit waktu gue kecelakaan?! Lu ngurusin gue gak?! Lu nungguin gue gak?! Lu
bela-belain ngerayu orang buat ganti darah gue gak?!” Jawabku semakin
membentak.
Nita hanya bisa terdiam melihatku pergi. Dia menangis di
sana, entah menangis karena menyesal menyia-nyiakanku atau menangis akan
kehilangan Dimas.
Setelah itu Nita kembali kerumah sakit. Di sana dia
melihatku sudah memakai baju operasi berwarna hijau. Ya. Aku akan memberikan
satu ginjalku dan dokter bilang ginjalku sangat cocok dengan Dimas.
Sekitar 5 jam aku dan Dimas berada di ruang operasi. Saat
dokter keluar, dokter mengatakan bahwa operasinya berhasil dan aku boleh pulang
dalam beberapa hari ini.
Sekitar 5 hari berselang, aku kembali kerumah karena kata
dokter keadaanku sudah baik tapi lukaku berpotensi terkena infeksi. Sampai
dirumah aku hanya bisa berbaring karena badanku masih terasa capai sehabis
operasi. Nita tak ada sekalipun menjengukku. Ya mungkin dia memang benar-benar
takut kehilangan Dimas.
Selang satu minggu keadaanku tak baik juga, malah makin
memburuk. Aku tak ingin diperiksa.
“nang periksa ke dokter yok.” Ajak ibuku.
“ndausah mah, biar gini aja. Ntar kan sembuh sendiri.”
Jawabku.
Hari demi hari aku lewati dan kesehatanku mulai menurun
karena mungkin lukaku terkena infeksi. Tak seharipun Nita menjengukku.
Hari ini tanggal 16 Januari, hari ini adalah hari ulang
tahunku yang ke-18 tahun. Hari ini terasa aku tak kuat lagi menahan sakit yang
menggerogoti tubuhku. Aku meminta ibu untuk menelepon Nita karena mungkin
itulah permintaan terakhirku.
“halo? Nita?” Tanya ibu.
“iya ini saya bu. Ada apa bu?” jawabnya.
“bisa kesini sebentar nak? Ini anak ibu mau ketemu katanya.”
Jelasnya.
“nanti saya akan kesana bu.” Jawab Nita.
Selang 45 menit Nita sampai kerumahku. Disana ada ibuku
sedang menangis di depan jenazah anaknya. Nita bertanya dalam hati, apa yang
sebenarnya terjadi.
Dia baru tahu setelah seorang tetanggaku memberitahunya
bahwa aku telah meninggal dunia. Dengan sedih, ibuku member sepucuk surat
kepada Nita.
“Kepadamu kasihku
Hai sayang, aku gamau basa-basi nih. Aku udah ngasi yang
kamu minta buat ngasi satu ginjalku ke Dimas. Kamu lihat kan sekarang? Aku
sayang kamu, aku hanya mau kamu seneng liat Dimas sehat.
Tapi jika aku nanti aku apergi, jangan sesalkan kepergianku
ya. Kamu yang menyiakan aku, kamu yang menyakiti aku. Cukup itu aja.
Aku sayang kamu.
Dari yang tercinta
Pacarmu”
Nita pun menangis. Dan sekali lagi aku tak tahu mengapa dia
menangis. Kehilanganku kah? Mungkin.
0 komentar:
Posting Komentar